Pengalaman Rawat Inap BPJS 2020
Mungkin dari judul artikel ini, teman-teman pembaca penasaran mengapa saya menuliskan bahwa saya tidak mau pakai BPJS lagi. Sebelum mulai menceritakan kronologis yang saya alami ketika menggunakan layanan BPJS, ijinkan saya menjelaskan apa itu BPJS terlebih dahulu.
Suasana Kantor Pelayanan BPJS |
Apa itu BPJS Kesehatan ?
BPJS Kesehatan adalah sebuah produk asuransi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah Republik Indonesia bagi Warga Negara Indonesia. Mengapa Pemerintah menyediakan produk BPJS kesehatan? Tentu saja hal ini merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan saya tegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tetap harus TEGUH pada salah satu sila pada PANCASILA ini.
Siapa saja yang berhak mendapatkan BPJS Kesehatan ?
Semua Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan jaminan kesehatan nasional melalui BPJS Kesehatan. Hal ini juga berlaku bagi Warga Negara Asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di wilayah Negara Republik Indonesia dengan mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS Kesehatan dan membayar iuran rutin bulanan.
Peserta BPJS Kesehatan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, ini adalah golongan peserta yang biaya iuran bulanan ditanggung sebagian atau sepenuhnya oleh Pemerintah. Sebagai contoh penerima bantuan iuran adalah Pegawai Aktif/Pensiunan Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara dan Warga Negara Indonesia yang tergolong miskin dan tercatat di Dinas Sosial.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, ini adalah golongan peserta mandiri yang biaya iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta. Pada golongan ini, peserta dapat memilih Kelas 1, 2, atau 3 sesuai kemampuan finansial masing-masing peserta. Sesuai peraturan terbaru sejak artikel ini ditulis (Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64/2020) dan berlaku mulai Juli 2020, maka biaya iuran berdasarkan kelas yang dipilih adalah :
- Kelas I, Rp. 150.000,- / peserta / bulan
- Kelas II, Rp. 100.000,- / peserta / bulan
- Kelas III, Rp. 42.000,- / peserta / bulan, subsidi pemerintah menjadi Rp. 25.500,-
Ketika artikel ini ditulis saya adalah golongan Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Kelas II.
Untuk lebih detailnya, penjelasan mengenai BPJS Kesehatan dapat dibaca melalui LINK ini.
Kembali ke tujuan artikel ini ditulis
Setelah saya menjelaskan sedikit apa itu BPJS Kesehatan, maka pada bagian ini akan saya ceritakan kronologis dan pengalaman PERTAMA saya menggunakan BPJS Kesehatan Kelas II.
Saya mulai ikut keanggotaan BPJS Kesehatan sejak 6 bulan lalu terhitung dari tanggal kapan artikel ini ditulis. Sebetulnya saya juga sudah memiliki asuransi kesehatan dari salah satu perusahaan swasta. Namun karena dari pengalaman saya menggunakan asuransi kesehatan swasta tersebut untuk proses kelahiran anak pertama saya di RSIA Bunda Margonda Depok, saya memutuskan untuk mencoba menggunakan BPJS Kesehatan. Lalu mengapa saya pindah? Tentu saja dari pengalaman asuransi swasta tersebut dimana saya membayar premi sebesar Rp. 550.000,- / bulan, dari total biaya kelahiran anak saya sebesar Rp. 48.000.000,-, yang ditanggung oleh asuransi swasta tersebut adalah Rp. 6.000.000. Bukankah mengejutkan?
Saya mengerti, sebab Istri saya memiliki kelainan rahim Bikornu dan anak pertama saya lahir prematur dan harus masuk NICU selama 11 hari. Oleh karena itu, biaya kelahiran anak pertama saya sangat membengkak karena beberapa obat untuk istri saya dan biaya perawatan NICU tidak ditanggung oleh asuransi swasta tersebut sesuai klausul pada premi yang saya miliki.
Berkaca dari pengalaman tersebut, lalu saya mencoba mencari alternatif asuransi kesehatan lainnya sejak mengetahui bahwa istri saya hamil anak ke-2 setelah 2 tahun yang lalu anak pertama saya lahir. Lalu saya mendapatkan suatu informasi bahwa BPJS Kesehatan menanggung biaya NICU. Hal ini tentu menarik perhatian saya. Sebab, berdasarkan hasil diagnosa dokter kandungan saya, rahim bikornu seperti istri saya akan memiliki resiko kelahiran prematur. Jika kehamilan terjadi lebih dari 1 kali, maka kehamilan selanjutnya memiliki potensi untuk lahir lebih muda atau lebih prematur. Tentu saja, saat itu saya berfikir anak ke-2 saya juga akan lahir prematur dan tentu saja masuk NICU kembali. Mengingat biaya NICU per hari menyentuh Rp. 1.000.000,- (belum termasuk biaya dokter dan obat-obatan) dan bisa jadi anak ke-2 saya lebih lama harus dirawat NICU, saya sebagai Suami dan Bapak harus berfikir keras untuk mempersiapkan diri untuk biaya besar yang akan dikeluarkan. Mengingat saya adalah pegawai biasa yang hanya mengandalkan gaji bulanan.
Sejak saat itu, pikiran saya terfokus pada bagaimana cara mendaftar BPJS Kesehatan dan menemukan suatu artikel bahwa mendaftar BPJS Kesehatan sangat mudah. Cukup mendaftar secara online dan upload softcopy dokumen-dokumen yang diperlukan. Setelah beberapa hari verifikasi, akhirnya saya diminta untuk membayar iuran perdana sehingga keanggotaan saya aktif. Sejak saat itu saya selalu rutin membayar keanggotaan BPJS Kesehatan sesuai jumlah peserta anggota keluarga saya.
Mengikuti prosedur BPJS Kesehatan
Sesuai prosedur yang berlaku di BPJS Kesehatan, peserta harus memeriksakan diri di Faskes pertama (Puskesmas, Klinik, dll) sebelum mendapatkan rujukan ke Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Sesuai prosedur ini, saya memeriksakan istri dan kandungan anak ke-2 di Klinik Villa Pertiwi di dekat rumah saya. Jujur saya pribadi kurang "sreg" jika harus memeriksakan kandungan di Bidan atau Puskesmas. Bukan maksud saya sombong atau bagaimana, sebab saya terbiasa memeriksakan istri saya di Rumah Sakit atau dokter spesialis mengingat istri saya memiliki kelainan rahim dan ada potensi komplikasi. Demi keselamatan istri saya dan kandungan, sebelumnya saya memeriksakan kandungan langsung ke Rumah Sakit atau dokter spesialis. Syukur Puji Tuhan, saya mendapatkan benefit dari kantor sehingga biaya tersebut dapat di reimburse.
Namun, jika saya ingin mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan nantinya untuk proses kelahiran di Rumah Sakit yang ditunjuk atau dirujuk, saya harus mengikuti prosedur awal, yaitu memeriksakan diri di Faskes Tingkat Pertama, yaitu Klinik yang saya sebutkan di atas sebelum mendapatkan rujukan ke Faskes Tingkat Lanjut (Rumah Sakit, itupun kalau Faskes Tingkat Pertama merasa perlu dirujuk untuk layanan kesehatan yang lebih lengkap sesuai hasil diagnosa).
Memeriksakan Istri di Klinik Villa Pertiwi
KPRJ Pertiwi 1 - Faskes Tingkat Pertama Saya |
Hari pertama saya memeriksakan istri saya, saya sempat ragu-ragu. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya bahwa saya terbiasa memeriksakan istri saya ke dokter spesialis dengan alasan kelainan rahim istri saya sehingga diperlukan pengetahuan ilmu anatomi dan kedokteran yang ahli atau spesialis.
Klinik KPRJ Pertiwi 1 menurut saya bersih dan memiliki ruang tunggu AC yang memberikan kesan awal yang baik bagi saya dan istri saya. Jujur saja, meskipun dengan jalan kaki dari rumah saya bisa menjangkau klinik ini, ini adalah hal yang pertama bagi saya untuk memeriksakan kesehatan di klinik ini.
Setelah giliran istri saya dipanggil, saya mulai masuk ke dalam ruangan bidan. Lalu, bidan mulai menanyakan beberapa hal mengenai kehamilan istri saya. Setelah mendapatkan penjelasan dari istri saya bahwa memiliki kelainan rahim, bidan lalu menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Hal yang cukup mengejutkan saya bahwa bidan tersebut menyarankan untuk dirujuk ke RSIA Bunda Margonda. Tentu hal ini cukup melegakan bagi saya dan istri, sebab kami terbiasa memeriksakan perihal kandungan ke sana. Tentu hal ini membuat kami senang dan penuh rasa syukur. Pada tahap ini, menurut saya keramahan Klinik KPRJ Pertiwi 1 perlu diapresiasi dan tetap konsisten ketika jadwal kontrol berikutnya hingga anak saya akhirnya lahir.
Setelah mendapatkan surat rujukan BPJS ke RSIA Bunda Margonda dari KPRJ Pertiwi 1, istri saya segera menelpon ke Rumah Sakit tersebut perihal prosedur kontrol dokter di sana. Setelah mendapatkan informasi dari RS, kami diminta untuk datang mendaftarkan diri terlebih dahulu sesuai jadwal praktek dokter Chandra Asmuni. Tunggu...! Dokter Chandra Asmuni adalah dokter yang mengoperasi caesar istri saya untuk anak ke-1 kami dan beliau adalah dokter BPJS juga. Tentu hal ini juga bagaikan rejeki bagi kami bisa kontrol ke dokter yang tahu kronologis medis dari kehamilan dan kelainan rahim istri saya. Sebagai informasi dokter Chandra Asmuni adalah dokter senior di RSIA Bunda Margonda dan kami sudah percaya dengan keahlian beliau.
Dr, Chandra Asmuni Spog |
Kontrol Pertama BPJS di RSIA Bunda Margonda Depok
RSIA Bunda Margonda Depok |
Kami diminta datang pagi-pagi sekitar jam 8 untuk menuju kantor informasi BPJS yang berlokasi di dalam RSIA Bunda Margonda Depok. Lokasi kantor berada paling belakang dari area RS.
Kantor BPJS Berlokasi di Area RSIA Bunda Margonda |
Setelah masuk ke dalam kantor, kami diminta untuk cek suhu tubuh, karena kami periksa pertama kali di bulan Maret 2020 dan mulai mewabahnya pandemi Covid-19 atau Virus Corona. Setelah itu kami masuk dan mendaftarkan diri untuk kontrol ke dokter Chandra Asmuni dan memberikan dokumen rujukan BPJS yang diberikan oleh KPRJ Pertiwi 1. Setelah petugas memverifikasi dan menginput data di komputernya, kami diminta untuk menunggu di ruang tunggu karena jadwal praktek dimulai pukul 10 pagi. Kemudian kami menunggu dengan sabar.
Setelah jam 9, kami diminta menuju ke gedung utama RSIA Bunda Margonda tepatnya di lantai 2 tempat dokter Chandra menjalankan praktek. Kemudian kami menuju lantai tersebut dengan hati-hati, sebab saat itu istri saya sudah hamil 7 bulan (hingga saat itu masih belum ada tanda-tanda kelahiran prematur dari istri saya).
Suasana Ruang Tunggu Lantai 2 RSIA Bunda Margonda |
Kemudian kami tunggu dengan sabar hingga dokter datang ke ruangan. Ruang tunggu sangat nyaman. Namun karena situasi pandemi Covid-19, tetap membuat kami waspada dan menjaga jarak. Setelah beberapa saat, dokter pun datang dan mulai nomor antrian dipanggil satu per satu. Kami berfikir karena kami menggunakan BPJS, mungkin kami mendapatkan antrian belakang. But wait! setelah antiran nomor 2 keluar, nama istri saya dipanggil masuk. Ini diluar perkiraan kami bahwa peserta BPJS menjadi "prioritas akhir" dibandingkan dengan pasien umum atau asuransi swasta. Kesimpulannya ada kesetaraan di sini dan berbeda jauh dari pemahaman kami mengenai kualitas pelayanan BPJS. Tapi pengalaman ini baru di tahap ini ya, para pembaca yang budiman. Cerita pengalaman menggunakan BPJS akan saya lanjutkan lebih jauh hingga anak saya lahir dan menjawab mengapa saya TIDAK MAU PAKAI BPJS LAGI.
Setelah kami masuk, seperti biasa layaknya dokter, istri saya diperiksa USG dan didiagnosa oleh dokter Chandra. Dokter Chandra pun mengingat wajah istri saya yang mengalami kelainan bikornu yang pernah beliau tangani ketika operasi caesar. Setelah beberapa rekomendasi demi kesehatan istri saya, kami dipersilahkan pulang dan diberikan resep obat untuk diminum. Dokter Chandra juga menjadwalkan untuk kontrol ke-2 pada 1 minggu sebelum Hari Raya Lebaran 2020 sehingga bisa dijadwalkan kapan operasi caesar sebelum Hari Raya Lebaran 2020 tiba. Selebihnya silahkan rutin periksa di Faskes Tingkat Pertama. Akhirnya kami keluar dengan perasaan lega dan menunggu suster untuk memberikan beberapa resep dan dokumen BPJS. Setelah kami menerima semuanya, kami diperbolehkan pulang dengan obat yang dibawa. Wait.... Kami tidak membayar Rp. 1 pun. Saat itu kami sangat bersyukur, sebab dari pengalaman sebelumnya sekali kontrol dokter bisa menghabiskan biaya sebesar Rp. 600.000 hingga Rp. 700.000 belum termasuk obat meskipun akhirnya bisa reimburse oleh kantor saya. Kami pun pulang dengan tersenyum dan melanjutkan untuk tetap kontrol rutin ke bidan di KPRJ Pertiwi 1 hingga bulan Mei 2020.
Kontrol Dokter Persiapan Operasi Caesar menggunakan BPJS
Akhirnya bulan Mei 2020 pun tiba dan sesuai jadwal kontrol persiapan operasi caesar dengan dokter Chandra 1 minggu sebelum Hari Raya Lebaran kami pun kembali mendaftarkan diri untuk praktek dokter dengan membawa surat rujukan BPJS yang masih berlaku. Pada hari Jumat, 15 Mei 2020, seperti biasa, kami datang ke bagian BPJS di RSIA Bunda Margonda dan mendapatkan nomor antrian. Namun sedikit hal berbeda yang kami alami ketika proses mendaftarkan diri untuk jadwal praktek dokter. Sebab, di bulan Mei 2020, protokol penanganan pandemi Covid-19 semakin diperketat seiring bertambahnya kasus positif, sehingga kantor BPJS yang sebelumnya berlokasi di belakang, berada di depan RS dengan tenda darurat dengan petugas lengkap dengan APD (Alat Pelindung Diri) total. Kami pun juga diperiksa secara ketat dari suhu tubuh hingga diajukan pertanyaan yang mengarah ke gejala Covid-19. Karena suhu kami normal dan tidak mengalami gejala satu pun, kami diperbolehkan melanjutkan proses pendaftaran BPJS untuk praktek dokter Chandra pada hari itu.
Setelah berada di Lantai 2 RSIA Bunda Margonda, kami pun menunggu dengan sabar hingga dokter Chandra datang. Saat dokter datang, kami pun dipanggil sebagai nomor antrian pertama. Kembali kami yakin meskipun kami menggunakan BPJS, prioritas antrian tidak ada perbedaan dengan pasien umum maupun pasien asuransi swasta.
Setelah kami masuk ke dalam ruangan praktek, seperti biasa dokter Chandra memeriksa USG istri saya. Puji Tuhan, berdasarkan hasil USG, anak ke-2 kami didiagnosa sehat dengan berat perkiraan dari hasil USG adalah 2,8 Kg. Saat itu saya sangat bersyukur sebab melenceng dari perkiraan awal ketika anak pertama saya lahir dan dokter berpesan bahwa jika ada kehamilan selanjutnya akan memiliki resiko lahir prematur dan/atau berat bayi yang lebih kecil. Akhirnya dokter menjadwalkan operasi caesar dilaksanakan pada hari Rabu, 20 Mei 2020 pukul 08.30. Setelah kontrol dokter selesai, kami pun menunggu informasi selanjutnya dari suster. Kemudian suster memberikan informasi bahwa kami wajib melakukan tes Swab PCR Covid-19 sebagai syarat tindakan rawat inap di RSIA Bunda Margonda. Hal ini bertujuan agar pihak RS tahu apakah pasien positif virus corona atau tidak dan apakah perlu ruang isolasi atau tidak. Namun suster berpesan bahwa pemeriksaan ini TIDAK DITANGGUNG BPJS dengan biaya sebesar Rp. 2.400.000,- hanya untuk Istri saya saja dan saya tidak diwajibkan untuk tes juga. Jumlah yang cukup besar bagi saya. Tapi demi kelancaran operasi caesar istri saya, saya tetap mengikuti prosedur tersebut dan puji Tuhan saya memiliki cukup tabungan untuk biaya tersebut dan ternyata bisa direimburse kantor saya juga. Kemudian suster juga menginformasikan bahwa istri saya juga memerlukan pemeriksaan darah Hemotologi Komplit yang puji Tuhan dapat ditanggung oleh BPJS dan sebagian bisa direimburse kantor saya. Jadi saat itu saya harus mempersiapkan diri untuk menalangi total pemeriksaan persiapan operasi sebesar Rp. 3.000.000,- sebelum bisa di-reimburse oleh kantor saya. Sekali lagi puji Tuhan saya memiliki tabungan yang cukup untuk biaya tersebut. Lalu kami dijadwalkan untuk tes swab esok harinya tanggal 16 Mei 2020 dan disarankan datang pukul 7 pagi. Puji Tuhan istri saya dinyatakan negatif Covid-19.
Kuitansi Pembayaran Tes Swab PCR Covid-19 |
Hasil tes Swab PCR Covid-19 Istri Saya |
Penanganan Operasi Caesar dan Rawat Inap BPJS
Akhirnya hari operasi pun tiba dan istri saya mulai operasi caesar pukul 8.30 pagi pada hari Rabu, 20 Mei 2020. Operasi berjalan lancar dan akhirnya putra ke-2 saya lahir sehat dengan berat 2,8 Kg dengan panjang 47 cm. Hasil diagnosa putra saya pun tidak perlu perawatan NICU. Puji Tuhan...
Putra ke-2 saya yang baru saja lahir |
Setelah beberapa jam menunggu istri saya menjalani proses pemulihan karena obat bius, akhirnya istri saya dibawa ke ruangan rawat inap Kelas II BPJS di lantai 2. Setelah kami masuk, terkejutnya kami bahwa ruangan tersebut berisikan 2 pasien saja dan diluar bayangan kami bahwa kamar BPJS Kelas II bisa saja menggunakan kamar yang berisi 4 atau 6 pasien. Kamar ini pula yang kami ambil ketika putra pertama saya lahir dimana saya masih harus mengeluarkan uang pribadi cukup banyak meskipun sudah menggunakan asuransi swasta. Karena tidak yakin apakah ini ruangan BPJS untuk Kelas II (karena takut naik kelas tanpa permintaan dari saya), lalu saya menanyakan kembali ke bagian informasi dan betul saja, ruangan tersebut sesuai hak kelas BPJS saya. Puji Tuhan... Saat ke bagian informasi saya juga sekalian bertanya perihal putra ke-2 saya bagaimana caranya agar terdaftar kepesertaan BPJS juga. Sebab, berdasarkan yang saya baca, bayi baru lahir WAJIB didaftarkan ke BPJS. Lalu bagian informasi langsung menginformasikan bahwa putra saya akan otomatis didaftarkan oleh pihak RS dan saya cukup rutin mengecek aplikasi JKN Mobile hingga nama putra saya muncul. Sementara nama anak saya masih By. Ny. Klara. Ketika nama puta saya muncul, saya segera membayar iuran awal untuk putra saya dan akhirnya kepesertaan putra saya langsung aktif saat itu juga dan dapat meng-cover segala tindakan medis yang di-asuransikan ketika dirawat di RSIA Bunda Margonda. Tapi tunggu, di tahap ini belum saya jelaskan MENGAPA SAYA TIDAK MAU PAKAI BPJS LAGI. Tetap lanjutkan membaca ya....
Setelah beberapa hari, ternyata obat anti nyeri yang diberikan kepada istri saya dengan standar BPJS kurang meringankan rasa nyeri istri saya pasca operasi. Akhirnya suster menyarankan untuk membeli obat paten namun tidak di-cover oleh BPJS. Demi istri saya yang mulai meringis karena rasa nyeri yang hebat, akhirnya saya memutuskan untuk membeli secara pribadi obat tersebut dan saya mencoba untuk klaim reimburse ke kantor saya.
Kuitansi Pembelian Obat Paten Pereda Nyeri |
Benar saja, obat tersebut langsung bereaksi dan istri saya tidak mengeluhkan nyeri hebat kembali. Jadi betul seperti yang saya kira bahwa obat-obat yang di-cover BPJS merupakan obat standar dan minimalis dibandingkan obat paten yang biasanya di-cover asuransi swasta atau bayar pribadi. Tapi saat itu saya tidak masalah karena nominal yang masih bisa saya tanggung dengan kantong pribadi.
Kemudian, suster juga menghampiri saya bahwa putra saya memerlukan uji lab darah untuk mengetahui golongan darah dan diagnosa darah awal untuk bayi baru lahir. Tapi pemeriksaan ini kembali TIDAK DI-COVER BPJS. Sekali lagi saya masih cukup secara finansial untuk membiayai pemeriksaan tersebut dan mencoba untuk klaim reimburse ke kantor saya. Hingga tulisan ini dibuat masih belum ada konfirmasi perihal klaim saya. Meskipun jika nanti ditolak, saya bisa memaklumi.
Kuitansi Periksa Lab Darah Putra Ke-2 Saya |
Dari biaya-biaya tersebut masih belum menjadi alasan saya MENGAPA TIDAK MAU PAKAI BPJS LAGI. Jadi tetap lanjutkan membaca ya...
Hari berikutnya, istri saya memerlukan transfusi darah karena kadar HB yang drop sesuai hasil lab kontrol rutin istri saya. Akhirnya pihak RS meminta PMI untuk mengirimkan 1 kantong darah A+ untuk istri saya dan ditanggung oleh BPJS. Kemudian hari berikutnya ternyata setelah ditransfusi, kadar HB istri saya semakin drop dan istri saya mulai lemas dan urin di kateter pun masih merah yang menandakan masih adanya pendarahan. Suster pun memberikan obat anti pendarahan lebih sering dan menyarankan saya untuk menambah 2 kantong darah A+ namun TIDAK DITANGGUNG BPJS. Demi keselamatan istri saya, saya menyetujuinya dan pihak RS mengijinkan pembayaran nanti ketika akan pulang. Setelah itu, istri saya menjalani proses transfusi darah dengan total 3 kantong darah A+ dan betul saja, akhirnya kadar HB istri saya mulai normal. Puji Tuhan...
Akhirnya sebelum diijinkan pulang, dokter menyarankan untuk menjalani pemeriksaan USG dan rontgen lanjutan untuk mengidentifikasi apakah ada luka dalam pasca operasi di area kandung kemih sebagai alasan mengapa beberapa hari kemarin istri saya mengalami pendarahan dan mengakibatkan kadar HB turun. Dari hasil USG itu pun menyimpulkan bahwa istri saya diperbolehkan pulang dan saya diijinkan untuk segera mengurus perihal administrasi. Saya pun segera menuju kasir rawat inap dan menunggu beberapa menit dimana kasir sedang menghitung biaya yang harus saya tanggung sendiri dan tidak di-cover oleh BPJS.
Kagetnya saya, ketika saya hanya cukup membayar Rp. 360.000,- sebagai ganti kantong darah tambahan sebelumnya dan diperbolehkan pulang...
Kuitansi Kantong Darah Yang Saya Bayar Ketika di Kasir Rawat Jalan |
Loh, lalu alasanya apa kok SAYA TIDAK MAU PAKAI BPJS LAGI? Sebentar ya pembaca yang budiman, silahkan lanjutkan pada seksi kesimpulan di bawah ini.
KESIMPULAN
Pasti dari tulisan saya di atas, masih belum menjawab mengapa saya tidak mau pakai BPJS lagi. Oke, untuk menjawabnya mari kita lihat dari aspek keuangan:
Saya sudah 6 bulan ikut BPJS dengan kepesertaan kelas II dengan biaya per bulan per peserta masih iuran awal sebelum Perpres terbaru, yaitu :
6 Bulan x 3 peserta (Putra Pertama, saya, dan istri) x Rp. 51.000,- = Rp. 918.000,-
Kemudian, saya membayar pribadi beberapa tindakan yang tidak dicover oleh BPJS sebagai berikut :
- Tes PCR Covid-19 dan Lab Darah = Rp. 3.000.000,-
- Obat Paten Nyeri = Rp. 482.922,-
- Cek Lab Putra ke-2 = Rp. 617.400.-
- Kantong darah A+ = Rp. 360.000,-
Sehingga total biaya pribadi yang perlu saya bayarkan adalah Rp. 4.460.322,- dan sisanya ditanggung sepenuhnya oleh BPJS.
Bandingkan dengan biaya kelahiran putra pertama saya 2 tahun yang lalu yang bisa jadi lebih murah 10% karena inflasi tiap tahun.
Mohon maaf kuitansi tidak saya simpan, tapi saya masih sedikit ingat biaya yang saya tanggung. Soalnya besar juga dan pasti membuat saya selalu ingat. hehehehe
Saat itu (tahun 2017) paket biaya operasi caesar di RSIA Bunda Margonda adalah Rp. 12.500.000,-
Kamar yang saya gunakan adalah Kelas II dengan biaya kamar Rp. 550.000,- / hari, total perawatan 3 hari menjadi Rp.1.650.000,-
Biaya NICU selama sebelas hari adalah Rp. 33.850.000,-
Hasil perhitungan kasir ketika pulang, yang dicover asuransi swasta yang saya pakai adalah Rp. 6.000.000,-, sisanya sebesar Rp. 42.000.000,- harus saya bayar pakai uang pribadi.
Mengejutkan bukan? Tapi mungkin tidak apple-to-apple sebab saat itu saya ada biaya NICU sedangkan putra ke-2 saya tidak ada biaya NICU.
Oke, mari kita hitung kembali, dengan asumsi biaya paket rawat inap dan operasi caesar naik 10% di tahun 2020 dibandingkan tahun 2017.
Paket operasi caesar saat ini (2020) adalah Rp. 12.500.000,- + 10% = Rp. 13.750.000,-
Biaya rawat inap selama 3 hari (2020) adalah 3 x (Rp. 550.000 + 10%) = Rp. 1.815.000,-
Jadi total biaya putra ke-2 saya adalah Rp. 15.565.000,- dan uang pribadi yang harus saya tanggung adalah Rp. 4.460.322,- di tahun 2020.
Lalu di tahun 2017, total biaya putra pertama saya adalah
Rp. 12.500.000,- + Rp.1.650.000,- menjadi Rp. 14.150.000,-
Sehingga saya masih harus mengeluarkan uang pribadi sebesar Rp. 8.150.000,- (didapatkan dari Rp. 14.150.000,- dikurangi biaya yang dicover asuransi swasta sebesar Rp. 6.000.000,-) untuk biaya rawat inap dan caesar saja. Belum termasuk saya harus menanggung biaya NICU seluruhnya saat itu sebesar Rp. 33.850.000,-
Jadi ketika saya menggunakan asuransi swasta, saya masih harus mengeluarkan biaya 2x lipat dibandingkan BPJS dengan biaya premi total 6 bulan yang jauh lebih banyak (Rp. 550.000,- x 6 bulan = Rp. 3.300.000,-) untuk menanggung biaya paket operasi caesar dan rawat inap saja.
Loh, lalu kalo dari keuangan BPJS lebih ramah kepada ekonomi masyarakat,
lalu apa yang menjadi alasan SAYA TIDAK MAU PAKAI BPJS?
Oke, mari kita review dari aspek pelayanan.
Pelayanan BPJS berdasarkan yang saya alami dan rasakan tidak berbelit-belit seperti beberapa informasi yang saya dapatkan sebelumnya. Dari Faskes pertama jika memang tidak bisa menangani kelainan kesehatan istri saya, yaitu rahim bikornu, mereka langsung merujuk ke RS yang lebih kompeten.
Di RS Bunda Margonda Depok pun kami tidak mengalami "diskriminasi" dan pelayanan pun tetap prima dengan kualitas kamar rawat inap yang sangat memuaskan kami.
Keramahan dokter dan perawat pun tetap saya apresiasi hingga akhirnya kami pun diperbolehkan pulang.
Lalu, alasan saya apa dong ga mau pakai BPJS lagi?
Hanya satu, SAYA DAN KELUARGA TIDAK MAU SAKIT LAGI HINGGA HARUS MENGGUNAKAN BPJS LAGI ALIAS KAMI BERHARAP BISA SEHAT TERUS.
Tentu saja saya akan tetap melanjutkan kepesertaan BPJS meskipun tetap sehat. Jadi para pembaca yang budiman jika sudah sehat, jangan berhenti MEMBAYAR ya. Karena prinsip dari BPJS Kesehatan adalah Gotong-Royong, yang sehat membantu yang sakit dengan membayar iuran rutin.
Memang sakit itu seperti rampok tengah malam, jadi kita perlu berjaga-jaga dengan asuransi kesehatan karena biaya untuk sehat itu tidak murah. Jangan sampai kita sakit tapi masih bingung bagaimana caranya mencari dana yang dibutuhkan. Jika harus seperti itu, bukankah menyedihkan sekali nasib ini?
Tulisan ini bukan bertujuan mendiskreditkan asuransi swasta, tapi itu kembali kepada anda dan hak anda sebagai pembaca yang budiman untuk memilih produk asuransi kesehatan sesuai selera anda dan kemampuan finansial anda.
Alih-alih tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan dan menceritakan bagaimana kualitas pelayanan BPJS Kesehatan berdasarkan pengalaman saya pribadi sebagai anggota.
Nah, bagian akhir ini saya ingin sedikit menyentil masyarakat yang mengeluhkan tarif BPJS yang sempat jadi polemik ketika artikel ini saya tulis karena mengalami kenaikkan. Jujur saya pun sempat protes dan tidak suka dengan kebijakkan ini. Tapi berdasarkan hitungan saya ini, ternyata BPJS pun masih jauh lebih murah dibandingkan asuransi kesehatan swasta dengan area covering yang lebih banyak dan luas sehingga biaya perawatan pun jauh lebih ringan. Jadi saya harap kita perlu bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah dengan adanya program ini. Sehingga Sila ke-5 dari Pancasila dapat dipenuhi oleh pemerintah Republik Indonesia. Hasil ini pun MENAMPAR saya yang sempat menghujat kebijakan kenaikkan tarif BPJS. Jika kawan-kawan pembaca tidak mampu membayar iuran Kelas I maupun Kelas II, BPJS masih mengijinkan turun ke Kelas III kok dengan subsidi iuran dari pemerintah. Jika masih tidak mampu, teman-teman pembaca yang budiman diperbolehkan kok untuk masuk ke masyarakat penerima bantuan iuran dengan mendaftarkan diri ke Dinas Sosial sehingga tidak perlu membayar iuran sama sekali namun dengan kualitas pelayanan yang sekarang jauh LEBIH BAIK. Yang membedakan hanya kelas ruangan saja, untuk pelayanan dasar tenaga medis dan obat-obatan tentu saja sama. Kan tidak mungkin Kelas III diberikan rebusan jahe namun Kelas I / II diberikan obat antibiotik. hehehehe
Demikian artikel ini saya buat, semoga berguna bagi para pembaca.
Saya sampaikan terima kasih kepada BPJS Kesehatan karena program ini sangat membantu saya. Juga saya berterima kasih banyak kepada KPRJ Pertiwi 1 dan RSIA Bunda Margonda Depok dengan pelayanan kesehatan yang sangat prima meskipun sedang mengalami pandemi Covid-19. Semoga Bapak/Ibu Tenaga Kesehatan selalu diberikan perlindungan dan kesehatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Amiinnn....
Mashaa Allah. Baca ini, untuk pengalaman pertama nanti mau pake bpjs lahiran ank ke3, jdi lbh tenang. Akhirnya ada yg rekomen di depok di RS mana kiranya yg ngelayanin bpjs nya baik. Soalnya biasanya di RSH****** pake dana pribadi anak ke1 dan 2 udah ngerasain kelas1 dan kelas deluxe nya agak boncos ini dompet. Makanya ke3 ini mau gunain bpjs. Tp crita org org kalo di RS itu kalo bpjs aga gmna gtu. Jdi takut. Pdahal dri SD udah jdi pasien di RS itu. huhuuu.. tpi baru prtama mau pakai bpjs, makanya jdi takut dgr crita ga bagus gtu, akhirnya lagi cari cari referensi RS lain didepok yg baik walopun pake bpjs.. smoga dimudahkan.. terimakasih untuk sharing pengalamannya ππΌπ
BalasHapus